Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sorotan lantaran beberapa isu seputar gugatan pihak yang ingin mengubah sistem pemilu, serta polemik siapa yang mengganti putusan hakim ketika dalam bentuk salinan putusan.
Kasus paling terakhir adalah kejadian pertama kali dalam sejarah di mana sembilan hakim konstitusi dilaporkan ke polisi. Bahwa ada perubahan pada petikan putusan antara yang dibacakan hakim di ruang sidang dengan yang ada di salinan putusan.
Skandal hukum bermula dari isu pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto. DPR minta Aswanto diberhentikan karena sering menganulir Undang-Undang bikinan DPR. Aswanto diberhentikan dan posisinya digantikan oleh Guntur Hamzah.
Zico Leonard yang memperkarakan satu panitera dan satu panitera pengganti juga menggugat pencopotan Aswanto, karena menurutnya pencopotan tersebut tidak sesuai dengan prosedur yang diatur Undang-Undang MK, lalu terjadilah perubahan putusan sidang yang membuat Zico melaporkan semua hakim.
Setelah kasus pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto, kini mulai bergulir untuk revisi Undang-Undang Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi atau Undang-Undang MK.
Ketua Komisi III DPR dari PDIP Bambang Wuryanto menyebut, salah satu alasan munculnya revisi tersebut adalah banyaknya uji formil dan materiil inisiatif DPR ke MK. Namun, banyak pula Undang-Undang tersebut yang justru dibatalkan MK.
Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan tidak setuju bisa revisi Undang-Undang MK mengatur hakim bisa ditarik saat hasil evaluasinya buruk menurut DPR.
"Kalau di DPR, pokoknya MK itu hakimnya bisa ditarik di tengah jalan. Pokoknya kalau DPR tidak setuju bisa dipecat. Sedangkan kita mengatakan tidak boleh hakim dipecat di tengah jalan," ujar Mahfud MD.
Kondisi ini menjadi pertanyaan, apakah Undang-Undang insiatif dari DPR harus disetujui semua dan tidak boleh dibatalkan? Tentu hakim punya alasan kan kenapa suatu Undang-Undang dibatalkan.