Pemanasan global bakal berkontribusi terhadap kenaikan suhu ekstrem di Indonesia. Lantas apa yang dapat kita antisipasi?
Anda tentu ingat sengatan panas April 2023. Suhu bulan lalu mungkin belum ada apa-apanya, karena BMKG memprediksi pada Mei-Agustus 2023 jadi awal dimulainya musim kemarau.
Di pekan ketiga April, BMKG mencatat suhu tertinggi di Indonesia mencapai 37,2 derajat celsius. Saat itu predikat kota paling terik jatuh pada kota Ciputat, Tangerang Selatan.
“Ini bukan gelombang panas seperti yang melanda Thailand, India atau Bangladesh,” kata Plt Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Dodo Gunawan.
Di tengah kenaikan suhu ekstrem di ibu kota, Anda beruntung jika bekerja atau tinggal di ruangan berpendingin. Namun apakah terbayang, bagaimana warga yang hidup di permukiman padat penduduk dihadapkan dengan peningkatan suhu ekstrem?
Kipas angin ini jadi satu-satunya perangkat elektronik yang membuat tempat tinggal mereka sedikit sejuk. Panas berkepanjangan dengan intesitas tinggi beresiko terhadap kesehatan lansia dan anak. Dua kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap kenaikan suhu.
Tak hanya soal kesehatan, peningkatan suhu berkepanjangan juga berpotensi mereduksi cadangan air tanah. Apalagi jika musim kemarau tiba. Bukan tidak mungkin akses warga terhadap air makin terbatas.
Meski BMKG sudah menjelaskan bahwa peningkatan suhu kali ini dipengaruhi siklus gerak semu matahari tahunan. Sulit untuk tidak mengaitkan labilnya perubahan cuaca yang kerap dialami dengan tren pemanasan global yang lajunya tak terbendung.
Merespon hal ini, Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan dalam unggahannya di Instagram menjelaskan pemerintah akan melakukan modifikasi cuaca sebagai langkah taktis meredam laju peningkatan suhu. Namun apakah strategi ini benar-benar jitu?