NEWSTICKER

Bedah Editorial MI: Seperempat Abad Mengais Keadilan

N/A • 22 May 2023 07:30

Kerusuhan Mei 1998 menjadi sejarah kelam bagi bangsa Indonesia saat pelanggaran hak asasi manusia atau HAM secara besar-besaran terjadi. Indonesia saat ini sudah memasuki tahun ke-25 reformasi, tetapi keadilan bagi korban tidak kunjung terwujud.

Hilangnya nyawa mulai mahasiswa hingga rakyat biasa tak jelas siapa yang bertanggung jawab. Total korban tewas dalam Kerusuhan Mei 1998 disebutkan sekitar 1.188 orang, dan setidaknya 85 wanita dilaporkan mengalami pelecehan seksual.

Upaya mencari dalang penembakan pun masih gelap. Padahal, selama rangkaian aksi reformasi 1998, ada darah mahasiswa dan masyarakat yang tumpah, tetapi pelakunya tak kunjung diadili.

Tanggung jawab tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisaksi juga hanya berujung pada putusan vonis kepada 12 polisi. Namun, mereka mengaku tidak terlibat dan merasa dijadikan kambing hitam semata. Hingga kini, setelah seperempat abad reformasi berjalan, tak jelas dalangnya siapa.

Tentu publik, termasuk juga keluarga korban, berharap pelaku pelanggaran HAM berat bisa dibawa ke pengadilan. Para pelaku seolah memiliki impunitas sehingga sangat sulit diseret ke meja hijau. Apalagi, upaya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Negara, termasuk pemerintah, harusnya menjalankan UU tersebut untuk menyelesaikan pelanggaran HAM sebelum ataupun sesudah aturan itu berlaku. Apalagi, Presiden Joko Widodo juga sempat menyinggung tentang pentingnya menyelesaikan pelanggaran HAM berat sesuai UU.

Penyelesaian HAM berat berdasarkan UU tersebut tidak hanya bertujuan memberikan keadilan pada korban, tetapi juga keadilan pada publik. Penyelesaian pelanggaran HAM berat di pengadilan penting untuk memperbaiki tata kelola negara.

Namun, upaya-upaya ideal tersebut tampaknya bakal sekadar harapan. Pemerintah mengambil upaya nonyudisial dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Dalihnya, pemerintah fokus pada korban pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk kasus pelanggaran HAM 1998.

Upaya di luar jalur pengadilan tersebut termaktub dalam Instruksi Presiden (Inpres) No 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) yang Berat yang jumlahnya 12 kasus, termasuk Peristiwa Mei 1998.

Inpres tersebut isinya menugaskan 19 kementerian dan lembaga yang diberi dua tugas untuk melaksanakan rekomendasi PPHAM, yaitu pertama, memulihkan hak korban atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat secara adil dan bijaksana. Kedua, mencegah agar pelanggaran HAM yang berat tidak terjadi lagi.

Serangkaian langkah lunak pemerintah terhadap kasus pelanggaran HAM tersebut jelas membuat kekecewaan keluarga korban makin dalam. Apalagi, pemerintah malah merekrut orang-orang yang diduga melanggar HAM berat ke dalam pemerintahan.

Tuntutan para keluarga korban dan juga tentunya seluruh rakyat Indonesia ialah kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dipertanggungjawabkan atau diselesaikan secara yudisial. Bukan sekadar permintaan maaf, melainkan keadilan yang diinginkan.

Pengadilan bisa mencegah terulangnya pelanggaran HAM oleh aparat keamanan ataupun sipil di masa depan. Jaminan tidak terjadinya lagi pelanggaran HAM berat di masa depan sebagaimana tertulis di dalam Keppres No 17/2022 hanya bisa dilakukan dengan cara mengadili pelanggar HAM berat di meja pengadilan untuk membuat jera mereka.

Jika hukum telah ditegakkan untuk para pemburu keadilan, baru pemerintah memikirkan upaya meminta maaf kepada korban pelanggaran HAM berat serta upaya-upaya nonyudisial yang lain. Itulah yang semestinya dilakukan sejak dulu.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Metrotvnews.com

(Anggie Meidyana)