NEWSTICKER

Perkembangan Ekonomi Hijau Indonesia di Tengah Minimnya Pendanaan

Ilustrasi ekonomi hijau. (Bappenas)

Perkembangan Ekonomi Hijau Indonesia di Tengah Minimnya Pendanaan

Willy Haryono • 9 June 2023 21:59

Jakarta: Ekonomi hijau merupakan satu dari enam strategi transformasi ekonomi Indonesia dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas. Tujuan dari ekonomi hijau adalah memiliki pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Konsep ekonomi hijau ini gencar dipromosikan Pemerintah Indonesia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020-2024).

Menurut Global Green Growth Institute (GGGI) Indonesia, ekonomi hijau menyediakan pendekatan makro ekonomi bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan fokus utama pada investasi, tenaga kerja dan skill.

Lantas, sudah sejauh mana perkembangan ekonomi hijau atau green economy ini di Indonesia?

"Semakin maju, inisiatifnya semakin banyak, dan sektornya juga semakin luas," ucap Senior Associate Green Finance GGGI Indonesia Titaningtyas dalam workshop keempat Indonesian Climate Journalist Network (ICJN) di kantor FPCI, Jakarta, Mei lalu.

"Tingkat kesadaran masyarakat juga meningkat, green sukuk semakin banyak, dan sektor swasta mulai banyak mengimplementasikan ESG," sambungnya, merujuk pada Environmental, Social and Governance.

ESG merupakan konsep pembangunan, investasi, atau bisnis berkelanjutan dengan mengedepankan faktor lingkungan hidup, sosial dan tata kelola.


Senior Associate Green Finance GGGI Indonesia Titaningtyas. (FPCI)

Ekonomi Hijau vs Pertumbuhan Ekonomi

Titaningtyas mengatakan bahwa ekonomi hijau sudah pasti melibatkan aspek sosial dan lingkungan. Berbeda dengan ekonomi konvensional yang lebih mementingkan indikator-indikator pertumbuhan, seperti Produk Domestik Bruto (PDB), dengan tidak terlalu memerhatikan sisi sosial serta lingkungan hidup.

Selama ini, sejumlah pihak menilai ekonomi hijau merupakan konsep yang hanya akan menghambat pertumbuhan ekonomi, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Tahun lalu, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menegaskan bahwa ekonomi hijau merupakan sumber pertumbuhan ekonomi baru. Ia meminta masyarakat untuk keluar dari paradigma lama, yaitu anggapan bahwa ekonomi hijau berbenturan dengan pertumbuhan ekonomi.

Green dan economic growth tidak trade-off, dia komplemen. Green bahkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru," ungkap Wamenkeu kala itu.

Wamenkeu menjelaskan, logika green ekonomi menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru karena Indonesia berhasil mengembangkan Energy Transition Mechanism (ETM). ETM mempunyai dua pilar aktivitas yang besar yakni mengurangi kegiatan yang menghasilkan emisi karbon dan membangun pembangkit listrik yang berbasiskan Energi Baru Terbarukan (EBT).

Pengurangan kegiatan yang dapat menghasilkan emisi karbon dilakukan melalui pengurangan penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara. Namun demikian, meski mengurangi penggunaan batu bara bukan berarti pemerintah menutup dan meninggalkan pembangkit listrik tersebut karena masih ada keterikatan dengan peraturan perundang-undangan.


Workshop ICJN bertema Green Economy. (FPCI)

Pendanaan Hijau

Ekonomi hijau melibatkan berbagai proyek ramah lingkungan, yang tentunya juga membutuhkan pendanaan seperti pada skema ekonomi konvensional. Idealnya, ekonomi hijau ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional ke level selanjutnya, namun faktor lingkungan tetap terjaga dan target nol emisi Pemerintah Indonesia di tahun 2060 juga bisa tercapai.

Lantas, apakah pendanaan proyek-proyek hijau di Indonesia sudah berjalan baik? Sayangnya, menurut Titaningtyas, masih relatif minim dan perbankan konvensional juga belum mau terjun ke ranah hijau karena dinilai terlalu berisiko.

"Pembiayaan proyek-proyek iklim ini risky, berisiko, dan bank konvensional pasti enggak mau. Untuk menjembatani itu, maka ada pembiayaan internasional. Tujuannya adalah untuk menjembatani (pendanaan proyek hijau) hingga perbankan konvensional sudah mulai aware terhadap isu iklim," tutur Titaningtyas.

Selain tantangan di sektor perbankan, pendanaan ekonomi hijau juga terhambat faktor koordinasi. Ia menilai kurang adanya koordinasi pendanaan hijau antar para pemangku kepentingan (stakeholders) di Indonesia, baik di level nasional atau di bawahnya.

Ketimpangan informasi di tengah publik juga turut berperan dalam menghambat pendanaan hijau. Semisal, beberapa proyek hijau hadir di Indonesia, namun sejumlah pihak tidak tahu cara untuk mengakses perihal pendanaan dan hal-hal lainnya. Titaningtyas merasa hal semacam ini perlu dijembatani oleh pemerintah.

Tantangan lain dari pendanaan ekonomi hijau adalah pengalokasiannya yang masih bersaing dengan isu ekonomi lain. Lemahnya kepercayaan publik terhadap instrumen-instrumen pembiayaan energi hijau terbarukan, dan juga keterbatasan transparansi pendanaan hijau serta sumber daya manusia (SDM) menjadi tantangan lainnya.

Sepertin tertuang dalam RPJMN 2020-2024 sebelumnya, ekonomi hijau diyakini bukanlah hambatan untuk masa yang akan datang. Justru sebaliknya, prinsip ini dapat memberikan peluang untuk menjadi lebih produktif dan berkelanjutan.
 
Mempertegas penerapan ekonomi hijau, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus sejalan dengan pelestarian lingkungan dan memerlukan komitmen dan usaha masif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menurunkan emisi karbon secara beriringan dalam penyusunan perencanaan RPJPN 2045 dan RPJMN 2025-2029.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun Google News Medcom.id

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Metrotvnews.com

(Willy Haryono)